Jumat, 10 Maret 2017

Pemakaman orang Katulik .. dimana...

Ketika saya membaca tulisan Romo Ngarlan (Penolakan jenazah umat Katulik / “Kristen”) di pemakaman umum. (serayu-net)
Saya jadi teringat hampir 4 tahun yang lalu tepatnya (minggu, 20 Oktober 2013, Jam 10.00 - 11.55 WIB) di Pasturan Kroya, Jln. Citandui 15a, Karangmangu. Waktu itu kami Tim Dekeneat Selatan sedang mem-follow up (menindak lanjuti) kesepakatan POA yang telah kami buat sewaktu pertemuan di HG beberapa bulan sebelumnya yang memperkenalkan Katekese Baru (sharing Injil 7 Langkah, yang cukup berhasil membawa umat bisa bersharing) bersama Bu Afra, Romo Poya, Romo Suraji. Kami waktu itu yang hadir dari Paroki Sidareja (Mas Seno), Paroki Majenang, Paroki Kr Anyar (Mas Paulus), Paroki Kroya (Pak Joko & Pak Firman) dan Romo Toro, Paroki Cilacap (2 orang).
Sambil menanti teman-teman dari deksel timur (yang ternyata tidak bisa hadir (Pak Ginanto dan Suster-suster), Teman-teman dari Cilacap menceritakan kejadian yang mirip peristiwanya dengan cerita Romo Ngarlan. Di Salah satu pemakaman umum di daerah Cilacap (sebut saja Pemakakaman A), adalah sebuah pemakanan umum yang sudah turun temurun puluhan tahun dipakai bersama-sama adem ayem (rukun-rukun saja suasananya, tanpa ada penolakan). Para tokoh agama dan tokoh masyarakat daerah itu sangat baik untuk menggunakan bersama pemakaman tersebut (karena pemakaman umum kelurahan, di kota), Namun suatu saat ketika (pada akhir-akhir tahun tersebut 2011 an, saudara-saudara kita umat X (sebagian) melarang/menghalangi, orang “KRISTEN” tidak boleh dimakamkan ditempat pemakaman tersebut. Ketika ditanya mengapa ? Selama ini tidak ada apa-apa? 
Lalu para pemuka gereja Katulik mulai mencari sebab, mengapa akhir-akhir ini terjadi penolakan...? Para tokoh katolok yang dikenal baik dimasyarakat, dan cukup kenal dengan warga yang menolok di utus mencari sisik melik, mengapa demikian?
Lalu di dapat penyebab (memang dimasyarakat tersebut mulai ada tokoh-tokoh muda dari warga yang menolok yang “IDEALIS” sesuai apa yang di terima di pendidikan), mereka bilang terganggu dengan nyanyian-nyanyian yang dinyanyikan dalam perjalanan kemakan / dimakan 9teman-teman Kristen yg biasa melakukan), dan .. ini yang cukup ditolak mereka “menggunakan Tanda SALIB” pada kemejan (penanda batas atas dan bawah / kepala dan kaki yg dimakamkan), serta simbol-simbol kekritenan yang lain (biasanya di Kijing/pusara, di atasnya tercetak SALIB).
Kemudian teman-teman tokoh Katulik mendekati dan berdialog (non formal, bertemu dengan tokoh tidak setuju; kira kira percakapanya seperti ini;
Tokoh Katulik: pak Ky sebenarnya kenapa apa warga kristen/katulik akhir-akhir ini ditolak memakamkan jenazah dipemakman umum kita yang selam ini kita gunakan bersama-sama, dan rukun-rukun saja?
Pak ky: “pokoke” kami tidak memperbolehkan..!
Tak habis akal tokoh katulik mencari cara bagaimana mengorek dan menemukan alasan utama mereka sampai tidak boleh memakamkan. Dan dengan kesabaran, kesabaran, muka ditebal-tebalkan (rai gedeg, ora perlu isin) dan... tentunya perlu waktu cukup lama ... kami ringkas ..intinya saja. Para penolak, bilang terganggu dengan nyanyian-nyanyian yang dinyanyikan dalam perjalanan ke makan / di makan, teman-teman Kristen yg biasa melakukan), dan .. ini yang cukup ditolak mereka “menggunakan Tanda SALIB” pada kemejan (penanda batas atas dan bawah / kepala dan kaki yg dimakamkan), serta simbol-simbol ke-kritenan yang lain (biasanya di Kijing/pusara, di atasnya tercetak SALIB).
Tokoh Katulik: OOO... dados niku sebab ipun. Em...ngih-ngih. Pak ky, ... sepuntene mawon ngih, berarti menawi umat katulik ingkang bade makam-aken mulai sak niki mboten ngangge sadaya niku wau “kepareng..?” (yang menyebabkan penolakan).==>
Tokoh ky: Ngih angsal mawon, mangga. Kula tanggel jawab.
(keduanya salaman, sejak saat itu pemakaman kembali bisa dipakai bersama dengan “CATATAN” keberatan para penolak dipenuhi).
NB:
  1. Jaman dan keadaan dimasyarakat kita mulai berubah, para tokoh umat katulik mohon bisa melihat (mencermati) keadaan sekarang (intoleransi).
  2. Barang kali kita ada saatnya ngalah agar semua bisa berjalan, orang yang “matipun” bisa dikebumikan.
  3. Pemakaman pribadi (dekat rumah) baik, namun belum semua umat katulik bisa menerima hal itu (bagaimana yang hanya punya tanah cukup rumah saja..?)
  4. Pemakaman dekat rumah (selama kemarin, bagi orang Jawa.. ngeton-ngetoni, ngetom.tomi).
  5. Mohon hati-hati sekarang era kebangkitan “nya”.
Amin semoga urun rembuk yang sedikit ini menjadi catatan teman-teman tokoh umat katulik yang di tuakan.

(--snca.prk.sidareja--)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar